Friday, July 19, 2013

Koordinasi Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air


Undang-Undang Sumber Daya Air (Pasal 85 dan Pasal 86) mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan itu harus dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air, sumber daya lahan, dan sumber daya lainnya.

Wadah koordinasi yang harus disiapkan adalah wadah yang menyediakan akses bagi semua stakeholder, khususnya primary stakeholder. Wadah tersebut harus mampu menyediakan dan memberikan informasi seluas-luasnya kepada yang memerlukan. Wadah tersebut harus mampu melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dimana dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya air, masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Selain itu, masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air.

Masyarakat tersebut adalah : para petani hortikultura di daerah dengan ketinggian = 1.500 m, para petani lahan kering di daerah dengan ketinggian antara 500 m sampai 1.500 m, dan masyarakat. Mereka adalah orang-orang terkena dampak (effected people) langsung dari bencana erosi. Bencana ini tidak dapat dicegah, tindakan utama terhadap ancaman bahaya erosi hanyalah sebatas mitigasi.

Wadah koordinasi tersebut harus mempunyai program yang jelas dan terarah agar bencana erosi dapat dikelola dengan baik secara terpadu dan berkesinambungan dan pengelolaaannya harus langsung di lokasi (on farm) oleh mereka yang berada on farm. Mereka itu adalah para primary stakeholder tersebut. Dan mereka harus diberi peran utama dalam implementasi konservasi on farm. Wadah tersebut juga harus mampu menyediakan pendamping, khususnya di bidang-bidang teknis, ekonomis (termasuk pasar), dan lingkungan, bagi mereka memerlukan adanya pendampingan,. Para pendamping ini dapat muncul dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemerhati, Perbankan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Perusahaan, misalnya : dairy (susu, dan lain-lain) dan meubel atau usaha perkayuan lainnya. Dalam hal ini, instansi daerah dan pusat serta para fasilitator lainnya, sebagai secondary stakeholder, harus mampu berfungsi sebagai inovator dan regulator.

Berdasarkan kondisi lapangan saat ini, wadah koordinasi tersebut harus mampu menyiapkan program kerja yang tajam menukik ke upaya pemecahan masalah yang dijumpai di lapangan. Orientasi program-program tersebut mengarah ke hal-hal berikut :
* Program konservasi jangka panjang yang saat ini sedang berjalan pelaksanaannya on-farm;
* Program konservasi jangka panjang di daerah hortikultura (high intensity vegetable growing area);
* Program konservasi jangka panjang di daerah dry land crops (tegalan) dengan hutan masyarakat;
* Program konservasi jangka pendek berupa pengendalian erosi di daerah :
* lembah kaki bukit berjurang (parit jurang, gully, rill, dan sejenisnya);
* tanah longsor dan gerusan tebing alur sungai;
* proyek pembangunan : jalan, kawasan industri, pemukiman, dan jenis proyek lainnya;
* perkotaan dan pedesaan berupa pengendalian run-off (limpasan air hujan).

Selain hal diatas peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 45 ayat (4) mengatur bahwa kriteria kawasan budidaya untuk kawasan hutan rakyat adalah : luas minimal 0,25 ha dan mempunyai fungsi hidrologis/ pelestarian ekosistem, luas penutupan tajuk minimal 50% danmerupakan tanaman cepat tumbuh. Kawasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub-sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
2. Meningkatkan fungsi lindung;
3. Meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumberdaya alam;
4. Meningkatkan kesempatan kerja;
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama di daerah setempat;
6. Meningkatkan pendapatan daerah dan nasional;
7. Meningkatkan ekspor;
8. Mendorong perkembangan usaha dan peran serta masyarakat terutama di daerah setempat
Berdasarkan program kerja kegiatan-kegiatan konservasi seperti yang telah tersusun tersebut, kiranya sudah dapat digambarkan bagaimana nanti tugas pokok dan fungsi dari wadah koordinasi yang harus dibentuk.

Keterpaduan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air


Azas dasar pengelolaan sumber daya air adalah : azas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Atas dasar azas tersebut maka sumber daya air yang mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan sosial tersebut harus dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, karena tujuan dari pengelolaan sumber daya air adalah mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pola pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan WS dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah serta prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air. Proses penyusunannya harus melibatkan peran masyarakat (termasuk masyarakat adat) dan dunia usaha.

Pengelolaan air permukaan didasarkan pada WS, sedangkan pengelolaan air tanah di dasarkan pada cekungan air tanah

Menurut Global Water Partnership (2000) pengelolaan terpadu sumber daya air adalah suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan sumber daya air, sumber daya lahan, dan sumber daya terkait lainnya secara terkoordinasi. Prinsip pengelolaan terpadu ini dikembangkan sebagai respons terhadap perilaku pengelolaan sumber daya air yang selama ini cenderung terfragmentasi sehingga berbagai kebijakan dan program sektor yang terkait dengan sumber daya air sulit bersinergi.

Keterpaduan tersebut, menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004, Pasal  3, mencakup dua komponen besar yaitu sistem alami dan sistem buatan (non-alami). Pada komponen sistem alami sekurangnya ada empat aspek pengelolaan yang perlu dipadukan, yaitu :
* keterpaduan antara daerah hulu dan daerah hilir,
* keterpaduan antara kuantitas dan kualitas,
* keterpaduan air hujan dengan air permukaan dan air bawah tanah, dan
* keterpaduan antara penggunaan lahan (land use) dengan pendayagunaan air (siklus hidrologi).

Keterpaduan pada sistem non-alami (buatan) sedikitnya mencakup tiga aspek keterpaduan, yaitu :
1. keterpaduan antar sektor dalam pembuatan kebijakan, program, dan kegiatan, baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten/kota (misalnya : untuk mengintegrasikan kebijakan pembangunan ekonomi dengan kebijakan pembangunan sosial serta kebijakan lingkungan hidup);
2. keterpaduan antar semua pemilik kepentingan (stakeholders);
3. keterpaduan antar daerah baik secara horizontal maupun secara vertikal.




Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More