Saturday, January 12, 2013

Metode Pendekatan Studi Konservasi DAS


Pendekatan yang dapat digunakan dalam Pekerjaan Studi Konservasi DAS adalah sebagai berikut

1.Hierarchical management approach, dengan pengertian bahwa semua kegiatan akan dilaksanakan berdasarkan atau mengacu pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan publik di atasnya;

2.Holistically integrated approach, dengan pengertian bahwa pekerjaan akan dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh, dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, dan dijaga tetap berasaskan keseimbangan dan dalam suatu koordinasi yang dinamik;

3.Stakeholders approach, dengan pengertian bahwa pekerjaan akan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait dengan kegiatan konservasi terpadu sumberdaya air;

4.Bottom-up approach, dengan pengertian bahwa pekerjaan akan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan dan partisipasi masyarakat.

Pendekatan hierarchical management dilakukan dalam rangka mengindahkan amanat peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Bahwa payung hukum dalam pengelolaan sumber daya air adalah berbentuk pola pengelolaan sumber daya air yang harus berkekuatan hukum formal, yang bersumber dari rumusan kebijakan sumber daya air, baik pada tingkat nasional, tingkat propinsi, tingkat kabupaten/kota, dan kearifan lokal (local wisdom) termasuk berbagai masukan dari seluruh stakeholders.

Berdasarkan pola tersebut selanjutnya akan dapat dihasilkan rencana induk, analisis sosial dan lingkungan hidup, studi kelayakan, program dan keterpaduan, keseimbangan, dan koordinasi yang dimaksud mencakup keterpaduan sumber daya hutan, sumber daya lahan, sumberdaya air, sumber daya manusia, dan sumber daya alam lainnya. Selain itu dibedakan juga antara keterpaduan dan keseimbangan alami dan non-alami.

Keterpaduan dan keseimbangan alami mencakup : daerah hulu dan hilir, kuantitas dan kualitas, air hujan dan air permukaan serta air tanah, dan penggunaan lahan (landuse) dan pendayagunaan air (siklus hidrologi). Sedangkan keterpaduan dan keseimbangan non-alami mencakup : antar sektor dalam pembuatan kebijakan, program, dan kegiatan (nasional, propinsi, kabupaten/kota); antar stakeholders; dan antar daerah, baik horizontal maupun vertikal. Dalam pengelolaan sumber daya air secara terpadu dan terkoordinasi, agar dapat diintegrasikan program-program kebijakan terpadu, diperlukan adanya wadah integrasi yang disetujui dan dioperasionalkan oleh seluruh stakeholders.

Menurut Global Water Partnership (2000) pengelolaan terpadu sumber daya air adalah suatu proses yang mengintegrasikan pengelolaan sumber daya air, sumber daya lahan, dan sumber daya terkait lainnya secara terkoordinasi. Prinsip pengelolaan terpadu ini dikembangkan sebagai respon terhadap perilaku pengelolaan sumber daya air yang selama ini cenderung terfragmentasi sehingga berbagai kebijakan dan program sektor yang terkait dengan sumber daya air sulit bersinergi.

Undang-Undang Sumber Daya Air (Pasal 85 dan Pasal 86) mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya air mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air. Pengelolaan itu harus dilakukan melalui koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber daya air, sumber daya lahan, dan sumber daya lainnya.

Wadah koordinasi yang harus disiapkan adalah wadah yang menyediakan akses bagi semua stakeholder, khususnya primary stakeholder. Wadah tersebut harus mampu menyediakan dan memberikan informasi seluas-luasnya kepada yang memerlukan. Wadah tersebut harus mampu melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dimana dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya air, masyarakat berhak untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Selain itu, masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya air.

Wadah koordinasi tersebut harus mempunyai program yang jelas dan terarah agar bencana erosi dapat dikelola dengan baik secara terpadu dan berkesinambungan dan pengelolaaannya harus langsung di lokasi (on site) oleh mereka yang berada on site. Mereka itu adalah para primary stakeholder tersebut. Dan mereka harus diberi peran utama dalam implementasi konservasi on site. Wadah tersebut juga harus mampu menyediakan pendamping, khususnya di bidang-bidang teknis, ekonomis (termasuk pasar), dan lingkungan, bagi mereka memerlukan adanya pendampingan. Para pendamping ini dapat muncul dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pemerhati, Perbankan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Perusahaan, misalnya di bidang usaha perkayuan. Dalam hal ini, instansi daerah dan pusat serta para fasilitator lainnya, sebagai secondary stakeholder, harus mampu berfungsi sebagai inovator dan regulator.

4 comments:

Unknown said...

wow

Unknown said...

mengantuk

Unknown said...

nak tido mane

Unknown said...

nak tido mane

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More